Oleh, Kamal al-Martawie S.H.I
Namun, sayang sekali wajah Islam sebagai penyelamat, pembawa pencerahan dan pembawa keadilan, seringkali dinodai dengan adanya realitas empirik di masyarakat yang berbalik. Adanya gerakan Islam fundamentalisme, tekstualisme Islam sampai pada aksi terorisme telah “menciderai” nama baik Islam sebagai pembawa misi rahmatan lil alamin. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah sebagai akibat dari feed back dari cara mereka memahami ajaran Islam. Ketika Islam dipahami secara tekstual, maka pemaknaan jihad, misalnya menjadi sangat sempit, yakni berperang ansich. Ketika Islam dilihat aspek kelahiran yang ada di dunia Arab sana, maka Islam yang dibawa adalah arabisasi kultur masyarakat Arab. Implikasi lanjutannya adalah Islam ditangkap secara simbolis, seperti berjenggot, berpakaian ala arab dan cara tangkapan lain sebagainya.
Kecenderungan tersebut di atas, telah menjauhkan kehadiran Islam sebagai pemecah masalah (problem solver), akan tetapi justru menjadi bagian dari problem itu sendiri. Pemahaman dan praktek keagamaan semacam inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiousnya yang murni, sebagai kekuatan pembebas (liberating force).
Indonesia adalah negara yang menghargai pluralitas, salah-satunya pada hal berkeyakinan dan memeluk sebuah agama. Karena agama adalah hak asasi setiap manusia. Islam yang berkembang di Indonesia memiliki akar yang kuat dalam konteks ke-Indonesiaan. Di Indonesia, Islam telah banyak melahirkan buliran-buliran yang satu sama lain mampu memberikan warna dan corak yang berarti. Namun demikian ketegangan maupun konflik antar aliran seringkali tak terelakkan. Ketegangan itu biasanya terjadi karena adanya perbedaan dalam memandang menghadapi modernisasi.”
“Tetapi sejarah terbentuknya Islam di Indonesia, unsur-usur yang memengaruhinya, serta proses penyebarannya, telah mampu menghasilkan paham keterbukaan (teologi inklusif). Paham inilah yang menjadikan mereka tetap survive dalam menghadapi ketegangan dan konflik yang ada.” Kata Syafi’i Anwar, Direktur International Conference for Islam and Pluralism (ICIP). Berbeda dengan Syafi’i Anwar yang melihat pentingnya unsur budaya dalam agama, Ismail Yusanto justru menilai adanya peran ganda dalam konsep budaya. Menurut juru bicara HTI {Hizbu Tahrir Indonsia} ini agama dibentuk oleh tata nilai budaya yang di dalamnya terdapat substansi hadharah, yaitu sebuah konsepsi kemajemukan. Menurutnya gagasan tentang hadharah dapat dipahami sebagai madaniyah (produk materi di dalam sebuah komunitas). Tetapi ia menolak hadharah materialistik yang menurutnya akan menghasilkan kemaksiatan di mana-mana. Sebaliknya ia meyakini bahwa hadharah spiritual adalah hadharah yang paling baik. “Dengan hadharah spiritual itulah kita mungkin untuk merealisasikan syariat Islam di negara Indonesia ini”, tandasnya.
Adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengklaim dirinya paling benar dibanding yang lain merupakan bentuk penodaan nilai budaya dan manuaia itu sendiri sebagai subjek. “Tidak ada kelompok yang berhak mengklaim dirinya paling benar dan berhak mendominasi surga Allah, apalagi mencap kafir atau menuding kelompok lain sesat”,. Umat Islam Indonesia tidak boleh ikut larut pada keberpihakan kepada salah satu kelompok, baik dari Barat ataupun Timur. Keduanya mempunyai sisi positif dan negative. Tantangan masyarakat Indonesia ke depan justru bagaimana memodifikasikan keduanya tanpa harus kehilangan identitas keindonesiaannya {almuhafadlotu ‘alalqodimi al-shalih wal akhdu biljadidi al-aslah}. Bahkan penulis berkeyakinan fenomena fundamentalisme yang sekarang meningkat akan dapat dicairkan dengan modifikasi itu, yaitu membebasan diri dari pola budaya Timur serta mengengembangkan dimensi kerohanian dan pengembangan jiwa kritis ala Barat.
Islam yang berkembang di Indonesia memang mempunyai kekhasan tersendiri. Hal itu diakui oleh aktifis JIL, Abd. Moqsith Ghazali. Menurut kandidat doktor UIN Jakarta ini Islam Indonesia pada dasarnya adalah proses dialektis antara agama dan budaya. Hal itu merupakan kelanjutan logis dari konteks historis sejak jaman Nabi sampai ketika wali songo membawa Islam masuk ke Jawa abad 14-15 M. Apa yang dilakukan oleh wali songo dalam mendakwahkan Islam di Nusantara menunjukkan bahwa Islam dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi budaya. Bahkan lebih tegas ia menyatakan bahwa agama sesungguhnya terbentuk dari proses budaya. Oleh karenanya ia juga sependapat dengan Andi yang menentang faham arabisme yang merasuk dalam Islam di Indonesia. “Islam memang lahir di Arab. Tetapi tidak semua yang Arab adalah Islam”,.
Dari sisi teoritik ke-islam-an itu dipilah menjadi tiga hal: pertama islam subjektif yaitu konsep agama yang memandang terdapat subjek yang seutuhnya dan memilik otoritas yaitu Yang Maha. Hanya ada ruang yang terbatas yaitu hubungan vertikal antara ’abdun dengan sayyidun- antara Khaliq dengan Makhluq. Hubungan ini bersifat personal. Sering kali para ’ulama menempatkan kajian ini dalam sebuah disiplin ilmu usuluddin atau ilmu tauhid.
Kedua islam objektif yang menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai objek dari Islam itu sendiri. Dari sisi pelakunya manusia sebagai subjeknya sedangkan dari sisi peruntukannya manusia sebagai ojeknya. Kajian ini disebut oleh para ulama dengan ilmu Fiqh yang menuntut keluasan pengetahuan dalam menginterpretasikan teks {Qoul} menjadi kontekstual {manhaji}. Maka dikenal dengan asasulkhomsah sebagai standar dari substansi orientasi ajaran islam.
Ketiga. Islam normatif, yang menempatkan ajaran islam sebagaimana agama lain merupakan sumber dan inspirasi norma yang bersifat universal, maka dikenal istilah tasawuf sebagai wujud kemampuan manusia mempergunakan beberapa potensi insaniayyah {Hidayah}. Dalam prakteknya ketiaga item itu harus membentuk sebuah konvergensi yang disebut dalam al-quran islam kaffah. Maka ending dari keislaman seperti inilah yang akan membuahkan harapan udhuluha bisalamin aminin dan yang memiliki citra islam rahmatan lilalamin bukan islam rahmatan lilmuslimin.
Selanjutnya pemetaan gerakan keislaman harus dilakukan melalui pesantren sebagai basis kultural keislaman dengan penekanan norma..................yu diskusi ah!
Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini. Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
Tapi hal itu berbeda dengan yang terjadi di Jawa Barat di mana perlawanan kultur atau simbol dari agama lain tidak terlalu kuat. Sehingga, Islamisasi di Jabar cukup dilakukan oleh seorang wali saja, Sunan Gunung Djati. Islamisasi kemudian dilakukan dengan menjepit Jawa Barat ini dari dua arah di barat lewat Banten serta di timur dipusatkan di Cirebon sehingga proses sosialisasi dan internalisasi keislaman di tatar Sunda ini tampak lebih kokoh dibanding di Jawa {barat-timur}. Meskipun bagi sebagian yang belum atau tidak menerima Islam melakukan "perlawanan" secara tertutup seperti yang dilakukan warga Baduy Banten atau oleh sebagian elite dan masyarakat yang tetap menjalankan dan melestarikan ajaran tatali karuhun yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu.
Dalam perkembangan selanjutnya, mendalamnya proses internalisasi keislaman ke dalam karakter kehidupan urang Sunda telah menjadikan Islam sebagai bagian identitas urang Sunda sendiri sehingga urang Sunda kemudian diidentifikasikan dengan Islam atau kalau meminjam istilah Azyumardi Azra, Islam bagi urang Sunda sudah menjadi supra identity. Bahkan ada suatu asumsi yang ingin dibangun bahwa Islam bisa nanjung dengan melalui budaya Sunda dan sebaliknya budaya Sunda bisa "mekar" dengan semangat keislaman.
Meskipun memang di beberapa daerah ada urang Sunda yang tidak beragama Islam seperti bekas pengikut Madrais di Kuningan atau penganut agama Sunda Wiwitan di Badui itu merupakan suatu kekecualian. Tapi secara keseluruhan identitas kesundaan hampir identik dengan keislaman sebagaimana juga kaum Melayu di Malaysia. Kenyataan ini secara kultural dapat diuji dengan membuktikan bagaimana upacara-upacara adat Sunda seperti perkawinan, khitanan, kematian, kelahiran bayi sampai syukuran bertaburan simbol-simbol dan syariat keislaman meskipun dalam waktu yang sama sering juga ada sinkretisme dengan sisa peninggalan Hinduisme atau animisme Sunda lama. Jika dalam kehidupan budaya, keislaman dengan kesundaan demikian lekat bagaimana halnya dengan kehidupan politik praktis di tatar Sunda ini.
Mari baca bersama-sama dan diskusikan peran pesantren sebagai lembaga sosial keagaamaan khas Indonesia ini dalam diskusi di PMII.
Teori pertama didukung oleh pijnapel yang kemudian ditindaklanjuti oleh snouck, fatimi, Vlekke, Gonda dan Schrieke [Drewes:1985; Azra: 1999].Snouck Hurgronje seorang misionaris mengatakan islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah anak benua India seperti Gujarat,Bengali, dan Malabar.
Teori kedua berdasarkan adanya persamaan budaya yang dimiliki beberapa kelompok Islam dengan penduduk Persia. Teori Ini meyakini bahwa yang pertama dimasuki adalah samudera pasai.
Teori ketiga digagas oleh Crawfurd, Nieman dan De Holander bahkan Fazlur Rahman pengikut madzhab ini. [Rahman: 1968] Alwi Sihab Juga pendukung teori Ini. Menurutnya Islam dating ke Nusantara jauh sebelum para pedagang Gujarat dating yaitu dimasa kepemimpinan Khulafaurrasidin. Prof Hamka juga turut mendukung teori ini.
Menurt teori ini Islam langsung datang dari Makkah atau Madinah yang didukung oleh literature china yang menyebutkan bahwa pada seperempat abad ke 7 di Samudra Pasai telah berdiri perkampungan Arab Muslim di Pesisir pantai Sumatra. Di pesisir ini orang orab membuat pemukiman dan menikah dengan penduduk setempat.bisa dilihat juga dalam disertasi Alwi Sihab yang berjudul Attasawufu al Islami wa atsaruhu fi tasawwufu al-Indonesi al-Mu’ashir.
Melalui pendekatan analisis histories komparatif, Alwi membantah sekaligus merevisi berbagai penelitian orientalis yang selama ini sudah dianggap sebagai kebenaran tanpa cela. Sebagaimana marcopolo, AH Jhons, Winsendt dan Snouck Hurgronje. Tentang kapan persisnya para orientalis tak memberi ketetapan yaitu sekitar abad ke 7 dan 13. menurt alwi Sihab bukti masuknya pada abad ke 7 dengan ditemukannya karya sufi pada abad ke 7 dan bertepatan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 656 M ke tangan Mongol dimana para ulama sebagian melarikan diri hingga ke Nusantara. Kesimpulan Alwi bahwa Islam masuk pada abad pertama Hijriyyah pada masa pedagang-pedagang sufi Muslim arab masuk cina lewat jalur laut bagian barat. Hal ini diperkuat oleh manuskrip pada jaman dinasti Tang yang penduduknya dibebaskan untuk menganut dan menikmati kebebasan beragama.cina yang dimaksud pada manuskrip abad pertama hijriyyah itu adalah gugusan pulau-pulau di timur jauh termasuk kepulauan Nusantara. Dari manuskrip tersebut dinyatakan masuknya islam bukan dari tiga jalur emas [Arab, Persia dan India] namun langsung dari Arab yang dibawa oleh para pedagang arab.
Selain perdebatan mengenai masuknya islam tersebut perbincangan lain adalah wilayah yang pertama menerima Islam. Beberapa penga,mat menyebut wilayah Sumatera sebagai daerah pertama masuknya Islam. Kerajaan samudera pasai sebagai Kerajaan Islam pertama yang dikenal sejarah namun menurut Ali Hasjmi menuturkan bahwa yang pertama itu adalah kerajaan Perlak.
Disampaikan pada acara Masa Penerimaan Anggota Baru PMII Komisariat IAIC di Manonjaya tanggal 07 November 2009.
1. Kontekstualisasi Islam
Agama Islam sebagaimana secara eksplisit disebut dalam al-QurĂ¡n mempunyai misi sebagai pembawa kedamaian bagi alam semesta (rahmatan lil alamin). Komitmen ini juga dipertegas lagi dengan obsesinya yang berusaha membebaskan manusia dari kegelapan menuju pencerahan (liyukhrijuhum min al-dzulumati ila alnnur). Dalam konteks inilah banyak diantara para pemikir Islam yang dalam menuangkan gagasannya mengarah kepada upaya yang dimaksud. Untuk menyebut beberapa tokoh tersebut antara lain, Ali Asghar Engineer dengan konsep Islam agama yang membebaskan. Konsep agama yang membebaskan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan ajaran Islam yang masih disalahpahami menjadi agama yang “membelenggu” dan membatasi ruang gerak bahkan muncul istilah al islam mahjubun bil muslimin menjadi identitas. Perlunya pelurusan pemahaman keagamaan juga dikampanyekan oleh alumni PMII alm Prof. A. Qodri Azizy, Ph.D. Menurutnya keterbelakangan umat Islam (ta’akhara al muslimun) bukan karena ajarannya yang salah, tapi pemahaman terhadapnya yang dalam banyak hal perlu untuk diluruskan.Namun, sayang sekali wajah Islam sebagai penyelamat, pembawa pencerahan dan pembawa keadilan, seringkali dinodai dengan adanya realitas empirik di masyarakat yang berbalik. Adanya gerakan Islam fundamentalisme, tekstualisme Islam sampai pada aksi terorisme telah “menciderai” nama baik Islam sebagai pembawa misi rahmatan lil alamin. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah sebagai akibat dari feed back dari cara mereka memahami ajaran Islam. Ketika Islam dipahami secara tekstual, maka pemaknaan jihad, misalnya menjadi sangat sempit, yakni berperang ansich. Ketika Islam dilihat aspek kelahiran yang ada di dunia Arab sana, maka Islam yang dibawa adalah arabisasi kultur masyarakat Arab. Implikasi lanjutannya adalah Islam ditangkap secara simbolis, seperti berjenggot, berpakaian ala arab dan cara tangkapan lain sebagainya.
Kecenderungan tersebut di atas, telah menjauhkan kehadiran Islam sebagai pemecah masalah (problem solver), akan tetapi justru menjadi bagian dari problem itu sendiri. Pemahaman dan praktek keagamaan semacam inilah yang sesungguhnya telah menyebabkan Islam dalam berabad-abad lamanya kehilangan spirit religiousnya yang murni, sebagai kekuatan pembebas (liberating force).
2. Islam Indonesia
Islam Indonesia mendapat posisi penting dalam perkembangan kajian keislaman dunia dikarenakan beberapa hal : pertama penganut Islam di Indonesia sebagai agama mayoritas dibanding agama lain namun mengakui eksistensi yang lain. Kedua penduduk muslim terbesar dunia melebihi negara muslim lainnya seperti Arab, Mesir, Sudan dll. Ketiga Islam bukan sebagai agama resmi Negara yang dijadikan idiologi Negara......... Empat, agama lebih diposisikan sebagai kultur masyarakat dibanding struktur sosial..Indonesia adalah negara yang menghargai pluralitas, salah-satunya pada hal berkeyakinan dan memeluk sebuah agama. Karena agama adalah hak asasi setiap manusia. Islam yang berkembang di Indonesia memiliki akar yang kuat dalam konteks ke-Indonesiaan. Di Indonesia, Islam telah banyak melahirkan buliran-buliran yang satu sama lain mampu memberikan warna dan corak yang berarti. Namun demikian ketegangan maupun konflik antar aliran seringkali tak terelakkan. Ketegangan itu biasanya terjadi karena adanya perbedaan dalam memandang menghadapi modernisasi.”
“Tetapi sejarah terbentuknya Islam di Indonesia, unsur-usur yang memengaruhinya, serta proses penyebarannya, telah mampu menghasilkan paham keterbukaan (teologi inklusif). Paham inilah yang menjadikan mereka tetap survive dalam menghadapi ketegangan dan konflik yang ada.” Kata Syafi’i Anwar, Direktur International Conference for Islam and Pluralism (ICIP). Berbeda dengan Syafi’i Anwar yang melihat pentingnya unsur budaya dalam agama, Ismail Yusanto justru menilai adanya peran ganda dalam konsep budaya. Menurut juru bicara HTI {Hizbu Tahrir Indonsia} ini agama dibentuk oleh tata nilai budaya yang di dalamnya terdapat substansi hadharah, yaitu sebuah konsepsi kemajemukan. Menurutnya gagasan tentang hadharah dapat dipahami sebagai madaniyah (produk materi di dalam sebuah komunitas). Tetapi ia menolak hadharah materialistik yang menurutnya akan menghasilkan kemaksiatan di mana-mana. Sebaliknya ia meyakini bahwa hadharah spiritual adalah hadharah yang paling baik. “Dengan hadharah spiritual itulah kita mungkin untuk merealisasikan syariat Islam di negara Indonesia ini”, tandasnya.
Adanya kelompok-kelompok tertentu yang mengklaim dirinya paling benar dibanding yang lain merupakan bentuk penodaan nilai budaya dan manuaia itu sendiri sebagai subjek. “Tidak ada kelompok yang berhak mengklaim dirinya paling benar dan berhak mendominasi surga Allah, apalagi mencap kafir atau menuding kelompok lain sesat”,. Umat Islam Indonesia tidak boleh ikut larut pada keberpihakan kepada salah satu kelompok, baik dari Barat ataupun Timur. Keduanya mempunyai sisi positif dan negative. Tantangan masyarakat Indonesia ke depan justru bagaimana memodifikasikan keduanya tanpa harus kehilangan identitas keindonesiaannya {almuhafadlotu ‘alalqodimi al-shalih wal akhdu biljadidi al-aslah}. Bahkan penulis berkeyakinan fenomena fundamentalisme yang sekarang meningkat akan dapat dicairkan dengan modifikasi itu, yaitu membebasan diri dari pola budaya Timur serta mengengembangkan dimensi kerohanian dan pengembangan jiwa kritis ala Barat.
Islam yang berkembang di Indonesia memang mempunyai kekhasan tersendiri. Hal itu diakui oleh aktifis JIL, Abd. Moqsith Ghazali. Menurut kandidat doktor UIN Jakarta ini Islam Indonesia pada dasarnya adalah proses dialektis antara agama dan budaya. Hal itu merupakan kelanjutan logis dari konteks historis sejak jaman Nabi sampai ketika wali songo membawa Islam masuk ke Jawa abad 14-15 M. Apa yang dilakukan oleh wali songo dalam mendakwahkan Islam di Nusantara menunjukkan bahwa Islam dapat dikontekstualisasikan dengan kondisi budaya. Bahkan lebih tegas ia menyatakan bahwa agama sesungguhnya terbentuk dari proses budaya. Oleh karenanya ia juga sependapat dengan Andi yang menentang faham arabisme yang merasuk dalam Islam di Indonesia. “Islam memang lahir di Arab. Tetapi tidak semua yang Arab adalah Islam”,.
3. Keislaman
Secara ideal istilah islam harus ditempatkan secara proforsional yaitu sebagai sistem diniyyah, siyasah, ijtima’iyyah, mu’amalah dan bahkan tamadun. Bila islam dijadikan sebagai sistem tentu bukan lagi harus mempersoalkan sistim namun bagaimana islam mampu memberikan nilai alternatif yang memberikan jaminan keselamatan {Taslim}. Keislaman inilah {kemampuan memberikan keselamatan}inilah yang harus menjadi prioritas bagi seluruh pemeluk yang menyatakan penganut beragama islam itu. Saya tidak menyebut bahwa yang tidak memberikan nilai itu tidak beragama tetapi secara substantif soul dari agama itu tak lagi ada.Dari sisi teoritik ke-islam-an itu dipilah menjadi tiga hal: pertama islam subjektif yaitu konsep agama yang memandang terdapat subjek yang seutuhnya dan memilik otoritas yaitu Yang Maha. Hanya ada ruang yang terbatas yaitu hubungan vertikal antara ’abdun dengan sayyidun- antara Khaliq dengan Makhluq. Hubungan ini bersifat personal. Sering kali para ’ulama menempatkan kajian ini dalam sebuah disiplin ilmu usuluddin atau ilmu tauhid.
Kedua islam objektif yang menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai objek dari Islam itu sendiri. Dari sisi pelakunya manusia sebagai subjeknya sedangkan dari sisi peruntukannya manusia sebagai ojeknya. Kajian ini disebut oleh para ulama dengan ilmu Fiqh yang menuntut keluasan pengetahuan dalam menginterpretasikan teks {Qoul} menjadi kontekstual {manhaji}. Maka dikenal dengan asasulkhomsah sebagai standar dari substansi orientasi ajaran islam.
Ketiga. Islam normatif, yang menempatkan ajaran islam sebagaimana agama lain merupakan sumber dan inspirasi norma yang bersifat universal, maka dikenal istilah tasawuf sebagai wujud kemampuan manusia mempergunakan beberapa potensi insaniayyah {Hidayah}. Dalam prakteknya ketiaga item itu harus membentuk sebuah konvergensi yang disebut dalam al-quran islam kaffah. Maka ending dari keislaman seperti inilah yang akan membuahkan harapan udhuluha bisalamin aminin dan yang memiliki citra islam rahmatan lilalamin bukan islam rahmatan lilmuslimin.
Selanjutnya pemetaan gerakan keislaman harus dilakukan melalui pesantren sebagai basis kultural keislaman dengan penekanan norma..................yu diskusi ah!
4. Pesantren dan perubahan sosial
Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yang terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 M. Karena pesantrennya banyak mengajarkan tentang Qiroat maka pesantren tersebur lebih dikenal dengan bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro.Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik. Awalnya, Syekh Hasanuddin datang ke Pulau Jawa sebagai utusan. Ia datang bersama rombongannya dengan menumpang kapal yang dipimpin Laksamana Cheng Ho dalam perjalanannya menuju Majapahit. Dalam pelayarannya, suatu ketika armada Cheng Ho tiba di daerah Tanjung Pura Karawang. Sementara rombongan lain meneruskan perjalanan, Syekh Hasanuddin beserta para pengiringnya turun di Karawang dan menetap di kota ini. Di Karawang, Syekh Hasanuddin menikah dengan gadis setempat yang bernama Ratna Sondari yang merupakan puteri Ki Gedeng Karawang. Di tempat inilah, Syekh Hasanuddin kemudian membuka pesantren yang diberi nama Pesantren Quro yang khusus mengajarkan Alquran. Inilah awal Syekh Hasanuddin digelari Syekh Quro atau syekh yang mengajar Alquran.
Dari sekian banyak santrinya, ada beberapa nama besar yang ikut pesantrennya. Mereka antara lain Putri Subang Larang, anak Ki Gedeng Tapa, penguasa kerajaan Singapura, sebuah kota pelabuhan di sebelah utara Muarajati Cirebon. Puteri Subang Larang inilah yang kemudian menikah dengan Prabu Siliwangi, penguasa kerajaan Sunda Pajajaran.
Kesuksesan Syekh Hasanuddin menyebarkan ajaran Islam adalah karena ia menyampaikan ajaran Islam dengan penuh kedamaian, tanpa paksaan dan kekerasan. Begitulah caranya mengajarkan Islam kepada masyarakat yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja Pajajaran yang didominasi ajaran Hindu. Karena sifatnya yang damai inilah yang membuat Islam diminati oleh para penduduk sekitar. Tanpa waktu lama, Islam berkembang pesat sehingga pada tahun 1416, Syekh Hasanuddin kemudian mendirikan pesantren pertama di tempat ini.
Sebelum memulai dakwahnya, Syekh Quro juga telah mempersiapkan kader-kadernya dengan pemahaman yang baik soal masyarakat setempat. Ini dilakukan agara penyebaran agamanya berjalan lancar dan dapat diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang melatarbelakangi kesuksesan dakwah Syekh Quro yang sangat memperhatikan situasi kondisi masyarakat serta sangat menghormati adat istiadat penduduk yang didatanginya.
5. Islam dan Sunda di Jawa Barat
Nurcholis Madjid pernah mengatakan bahwa, keberadaan tempat-tempat ibadah merupakan monumen penting bagi kehadiran suatu agama di samping ia pun dapat memberikan counter simbolik terhadap invasi budaya serta agama lain. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa Islamisasi di Jawa yang dilakukan oleh para wali di Jawa Tengah dan Jawa Timur relatif tidak mudah karena menghadapi perlawanan simbolik dengan kehadiran candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan.Tapi hal itu berbeda dengan yang terjadi di Jawa Barat di mana perlawanan kultur atau simbol dari agama lain tidak terlalu kuat. Sehingga, Islamisasi di Jabar cukup dilakukan oleh seorang wali saja, Sunan Gunung Djati. Islamisasi kemudian dilakukan dengan menjepit Jawa Barat ini dari dua arah di barat lewat Banten serta di timur dipusatkan di Cirebon sehingga proses sosialisasi dan internalisasi keislaman di tatar Sunda ini tampak lebih kokoh dibanding di Jawa {barat-timur}. Meskipun bagi sebagian yang belum atau tidak menerima Islam melakukan "perlawanan" secara tertutup seperti yang dilakukan warga Baduy Banten atau oleh sebagian elite dan masyarakat yang tetap menjalankan dan melestarikan ajaran tatali karuhun yang banyak dipengaruhi ajaran Hindu.
Dalam perkembangan selanjutnya, mendalamnya proses internalisasi keislaman ke dalam karakter kehidupan urang Sunda telah menjadikan Islam sebagai bagian identitas urang Sunda sendiri sehingga urang Sunda kemudian diidentifikasikan dengan Islam atau kalau meminjam istilah Azyumardi Azra, Islam bagi urang Sunda sudah menjadi supra identity. Bahkan ada suatu asumsi yang ingin dibangun bahwa Islam bisa nanjung dengan melalui budaya Sunda dan sebaliknya budaya Sunda bisa "mekar" dengan semangat keislaman.
Meskipun memang di beberapa daerah ada urang Sunda yang tidak beragama Islam seperti bekas pengikut Madrais di Kuningan atau penganut agama Sunda Wiwitan di Badui itu merupakan suatu kekecualian. Tapi secara keseluruhan identitas kesundaan hampir identik dengan keislaman sebagaimana juga kaum Melayu di Malaysia. Kenyataan ini secara kultural dapat diuji dengan membuktikan bagaimana upacara-upacara adat Sunda seperti perkawinan, khitanan, kematian, kelahiran bayi sampai syukuran bertaburan simbol-simbol dan syariat keislaman meskipun dalam waktu yang sama sering juga ada sinkretisme dengan sisa peninggalan Hinduisme atau animisme Sunda lama. Jika dalam kehidupan budaya, keislaman dengan kesundaan demikian lekat bagaimana halnya dengan kehidupan politik praktis di tatar Sunda ini.
6. Tasikmalaya dalam sejarah pesantren
Tasikmalaya yang dikenal dengan kota santri dengan seribu pesantrennya memiliki warna tersendiri dalam ranah pemberdayaan sosial dimana peran pesantren sangat dominan. Sejarah keagamaan sebanding lurus dengan perannya menjadi ensiklopedia Tasikmalaya sejak kebataraan Galunggung abad ke 8 M bersamaan dengan kejayaan Sriwijaya yang Hindu. Selanjutnya abad ke 16 semasa sukapura menjadi pusat pemerintahan dan peradaban yang dimotori oleh tokoh agama syeh abdul Muhyi begitupun awal abad 20 munculnya tokoh agama seperti Syeh haji Sujai {mama Kudang} yang melakukan ijtihad politik versi pesantren dalam wadah IBMU. Dll..........................................................Mari baca bersama-sama dan diskusikan peran pesantren sebagai lembaga sosial keagaamaan khas Indonesia ini dalam diskusi di PMII.
REKONTRUKSI SEJARAH ISLAM DI INDONESIA
Sejauh ini sejarah masuknya islam ke Indonesia berkembang dalam berbagai versi.setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan maasuknya islam ke indonessia yaitu teori Gujarat[India], Persia [Iran] dan teori makkah. Menurut teori pertama Islam Masuk dibawa para pedagang Gujarat [India] yang beragama Islam sekitar abad ke-13 M. Teori kedua islam masuk ke Indonesia dibawa para pedagang Persia yang dalam perdagangannya singgah di Gujarat sebelum ke Nusantara diperkirakan sekitar abad ke 13 M. sedangkan teori ketiga islam dibawa langsung oleh orang Hizaz [makkah] yang menjadi pedagang pada abad Ke-7 M.Teori pertama didukung oleh pijnapel yang kemudian ditindaklanjuti oleh snouck, fatimi, Vlekke, Gonda dan Schrieke [Drewes:1985; Azra: 1999].Snouck Hurgronje seorang misionaris mengatakan islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah anak benua India seperti Gujarat,Bengali, dan Malabar.
Teori kedua berdasarkan adanya persamaan budaya yang dimiliki beberapa kelompok Islam dengan penduduk Persia. Teori Ini meyakini bahwa yang pertama dimasuki adalah samudera pasai.
Teori ketiga digagas oleh Crawfurd, Nieman dan De Holander bahkan Fazlur Rahman pengikut madzhab ini. [Rahman: 1968] Alwi Sihab Juga pendukung teori Ini. Menurutnya Islam dating ke Nusantara jauh sebelum para pedagang Gujarat dating yaitu dimasa kepemimpinan Khulafaurrasidin. Prof Hamka juga turut mendukung teori ini.
Menurt teori ini Islam langsung datang dari Makkah atau Madinah yang didukung oleh literature china yang menyebutkan bahwa pada seperempat abad ke 7 di Samudra Pasai telah berdiri perkampungan Arab Muslim di Pesisir pantai Sumatra. Di pesisir ini orang orab membuat pemukiman dan menikah dengan penduduk setempat.bisa dilihat juga dalam disertasi Alwi Sihab yang berjudul Attasawufu al Islami wa atsaruhu fi tasawwufu al-Indonesi al-Mu’ashir.
Melalui pendekatan analisis histories komparatif, Alwi membantah sekaligus merevisi berbagai penelitian orientalis yang selama ini sudah dianggap sebagai kebenaran tanpa cela. Sebagaimana marcopolo, AH Jhons, Winsendt dan Snouck Hurgronje. Tentang kapan persisnya para orientalis tak memberi ketetapan yaitu sekitar abad ke 7 dan 13. menurt alwi Sihab bukti masuknya pada abad ke 7 dengan ditemukannya karya sufi pada abad ke 7 dan bertepatan dengan jatuhnya Baghdad pada tahun 656 M ke tangan Mongol dimana para ulama sebagian melarikan diri hingga ke Nusantara. Kesimpulan Alwi bahwa Islam masuk pada abad pertama Hijriyyah pada masa pedagang-pedagang sufi Muslim arab masuk cina lewat jalur laut bagian barat. Hal ini diperkuat oleh manuskrip pada jaman dinasti Tang yang penduduknya dibebaskan untuk menganut dan menikmati kebebasan beragama.cina yang dimaksud pada manuskrip abad pertama hijriyyah itu adalah gugusan pulau-pulau di timur jauh termasuk kepulauan Nusantara. Dari manuskrip tersebut dinyatakan masuknya islam bukan dari tiga jalur emas [Arab, Persia dan India] namun langsung dari Arab yang dibawa oleh para pedagang arab.
Selain perdebatan mengenai masuknya islam tersebut perbincangan lain adalah wilayah yang pertama menerima Islam. Beberapa penga,mat menyebut wilayah Sumatera sebagai daerah pertama masuknya Islam. Kerajaan samudera pasai sebagai Kerajaan Islam pertama yang dikenal sejarah namun menurut Ali Hasjmi menuturkan bahwa yang pertama itu adalah kerajaan Perlak.
Disampaikan pada acara Masa Penerimaan Anggota Baru PMII Komisariat IAIC di Manonjaya tanggal 07 November 2009.
No comments:
Post a Comment